Perkebunan Teh Kaligua |
Kami berangkat dari Desa Bantarwaru menggunakan sepeda motor hingga ke Bumiayu, lalu dilanjutkan dengan menggunakan mobil bak terbuka hingga ke Kaligua. Sepanjang perjalanan dari Bumiayu ke Kaligua hembusan angin tak henti-hentinya menerpa kami.
Ketika kami sudah memasuki Desa Pandansari, yaitu desa tempat Wisata Agro Kaligua berada, kami disambut oleh hamparan kebun teh yang menghijau menyejukkan mata. Kami juga disambut kebun-kebun sayur yang membentang di kanan-kiri kami, bahkan hingga ke tempat-tempat yang lahannya cukup miring. Namun, ada satu hal yang sebetulnya mengganggu pikiran Saya. Menurut pandangan pribadi saya, lahan-lahan yang terlalu miring di sekitar Desa Pandansari tidak selayaknya ditanami sayuran, karena dapat menyebabkan erosi. Erosi yang berkepanjangan tentu saja nantinya akan merusak kesuburan tanah di masa mendatang.
Kami akhirnya kami sampai di Wisata Agro Kaligua setelah menempuh perjalanan hampir 2 jam dari Bantarwaru. Setelah membayar tiket masuk, kami memasuki kawasan wisata agro. Hawa Sejuk perkebunan teh langsung menyambut kami.
Kami bertemu dengan ibu-ibu lansia Bantarwaru begitu kami memasuki kawasan wisata agro. Setelah berbincang-bincang dengan ibu-ibu lansia dan berolahraga bersama di dekat pintu masuk Wisata Agro, kami melanjutkan perjalanan ke Gua Jepang yang masih terletak di kawasan wisata agro. Kami harus berjalan kaki sekitar 10-15 menit untuk sampai ke Gua Jepang. Sebenarnya ada sarana angkutan yang dapat membawa kami ke Gua Jepang, namun kami memilih untuk berjalan kaki.
Sesampainya di kawasan Gua Jepang, Saya malah lebih tertarik dengan para pemetik teh yang kebetulan pada saat itu masih memetik teh di kanan kiri pintu masuk gua. Oleh karena itu, saya memilih berjalan ke atas bukit untuk melihat dari jarak dekat proses penetikan teh. Setelah saya sampai di atas bukit, ternyata semua pemetik yang saya lihat adalah kaum hawa.
Mereka membawa keranjang besar di punggung untuk menampung pucuk-pucuk teh, sedangkan tangannya menggenggam alat pemetik teh.
Perempuan Pemetik Teh |
Saya sempat berbincang sedikit dengan salah satu pemetik teh dan bertanya berapa kilogram teh yang bisa mereka petik. "50 kilogram per hari mba, biasanya", begitu jawaban salah satu pemetik teh. Lima puluh kilogram bukanlah angka yang sedikit, bahkan bagi seorang laki-laki. Lantas Saya berpikir, mengapa ibu-ibu ini rela memetik teh hingga puluhan kilo dengan mengitari bukit-bukit terjal dan beresiko terpeleset kapanpun. "Saya rela bekerja banting tulang demi anak-anak saya, mba. Biar mereka bisa sekolah, bisa jajan", jawab salah satu dari mereka ketika hal tersebut saya tanyakan.
Mendengar jawaban perempuan pemetik teh, hati saya lantas terenyuh. Betapa seorang perempuan dapat bekerja begitu keras demi seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya, yaitu anak-anaknya. Mereka, para perempuan itu bahkan harus bekerja selama 7 jam dari pukul setengah tujuh pagi.
Perempuan-perempuan pemetik teh tersebut mengajarkan kepada Saya arti seorang anak bagi seorang ibu. Anak bagi mereka adalah permata hati, belahan jiwa, orang terkasih yang membuat mereka rela melakukan apapun. Demi anak, seorang ibu bahkan rela berhutang jika tak ada sebutir nasipun tersisa di dapurnya.
Naik-turun bukit untuk memetik teh |
Perempuan-perempuan pemetik teh tersebut juga mengajarkan kepada Saya arti seorang Ibu bagi seorang anak. Seorang Ibu adalah ratu, yang tak boleh sedikitpun disakiti hatinya maupun fisiknya. Fisiknya sudah terlalu sakit, bahkan sejak anaknya masih di dalam kandungannya. Ia harus menahan beban di dalam perutnya, yaitu calon anaknya. Lalu, ketika Ia melahirkan, maka fisiknya juga sakit. Hatinya juga sudah terlalu banyak tersakiti. Ketika anaknya sakit, hatinya ikut sakit. Ketika anaknya terluka, maka hatinyapun terluka. Ibu, sudah selayaknya memang diperlakukan bagai seorang ratu bagi anak-anaknya.
Terima kasih ibu-ibu pemetik teh. Sehat selalu, ibu.
Purwokerto, 19 Februari 2020
0 komentar:
Posting Komentar